Kata pengantar
Puji dan rasa syukur penulis
panjatkan kehadirat ilahi robbi yang mana telah memberikan karunia dan
keridhoannya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini tersusun dari berbagai
sumber yang dapat di percaya agar penjelasannyapun memang sesuai dengan realita
dan fakta yang ada karena makalah saya ini sangat berkaitan erat dengan
problema turun-temurun yakni kegiatan mencontek.
Dengan disusunnya makalah ini
semoga dapat menjadikan referensi tentang bagaimana menghilangkan kebiasaan
mencontek di sekolah-sekolah terutama di SMA. Walaupun saya berpikir bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna tapi semoga dapat membantu bagi
pembaca biarpun hanya sedikit.
Terimakasih....
Garut,
3 Februari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
pengantar…………………………………………………………………………...i
Daftar isi……………………………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar belakang………………………………………………………........1
b. Rumusan masalah……………………………………………………….1
c. Maksud dan tujuan……………………………………………………….1
BAB II ISI……………………………………………………………………………….2
BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan………………………………………………………………..13
b. Kritik dan saran …………………………………………………………..13
Daftar pustaka
…………………………………………………………………………….14
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah sumber daya manusia adalah masalah yang sangat penting yang
menunjang suatu negara, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Masalah ini tentunya tak lepas dari bidang pendidikan yang secara umum
diidentikkan dengan pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah, dan secara
langsung mempengaruhi terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan
tersedianya sumber daya yang berkualitas, maka suatu negara akan berkembang
secara optimal.
Salah satu tujuan negara Indonesia dalam
pembukaan UUD 1945 alinea IV adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk
memperlancar proses pendidikan maka diperlukan suatu wadah atau lembaga yang
disebut sekolah. Di sekolah setiap siswa di tuntut untuk membekali diri
dengan pengetahuan akademik yang layak sehingga dapat menembus persaingan yang
ketat dan mendapatkan haknya dibidang pendidikan, dan mereka lebih termotivasi
untuk selalu berkembang serta meraih prestasi yang gemilang.
Dengan mendapatkan prestasi yang gemilang, seseorang akan dikatakan sebagai
siswa yang berhasil dalam menuntut ilmu dan juga akan dicap sebagai sumber daya
yang layak dan berkualitas. Namun disisi lain di jaman sekarang ini banyak
siswa yang meraih prestasi yang gemilang dengan usaha yang negatif, salah
satunya dengan menyontek.
Menyontek dapat diartikan sebagai perbuatan untuk mencapai suatu keberhasilan
dengan jalan yang tidak sah. Menyontek dapat dilakukan dalam berbagai bentuk
antara lain, menyalin jawaban teman, mengintip buku teks atau catatan saat
ulangan, dan tanya-jawab dengan teman saat ulangan.
Mungkin menyontek adalah kegemaran kebanyakan siswa. Menyontek adalah salah
satu fenomena yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktifitas belajar
mengajar sehari-hari. Menyontek seperti telah menjadi kebiasaan para siswa,
tidak hanya di Indonesia di luar negeri pun menyontek telah menjadi budaya yang
dianggap lumrah, tetapi jarang mendapat pembahasan dalam wacana pendidikan kita
di Indonesia.
Kurangnya pembahasan mengenai menyontek mungkin disebabkan karena kebanyakan
pakar menganggap masalah mengenai menyontek ini adalah hal yang sifatnya
sepeleh, padahal masalah menyontek sesungguhnya merupakan masalah yang sangat
penting dan mendasar karena berpengaruh pada masalah sumber daya manusia.
Mengapa para siswa menyontek? Generalisasinya, untuk bersaing di sekolah agar
mendapatkan prestasi yang baik. Banyak siswa yang mencontek pada saat
menghadapi ujian. Rata-rata nilai yang didapat oleh para plagiator (orang yang
suka mencontek) selalu tinggi dari nilai yang sebenarnya. Apakah nilai palsu
inilah yang akan dipertaruhkannya untuk mengukir masa depan, Tanpa mengetahui
daya atau kemampuan intelektual yang sebenarnya?
Dari makalah dapat di rumuskan beberapa rumusan masalah antara lain:
1.
Apa faktor penyebab siswa menyontek?
2.
Bagaimana pengaruh menyontek terhadap prestasi siswa?
3.
Bagaimana upaya menanggulangi perilaku menyontek ?
1.
Untuk menjekaskan faktor penyebab siswa menyontek.
2.
Untuk mengetahui pengaruh menyontek terhadap prestasi siswa.
3.
Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya menanggulangi perilaku menyontek
BAB III
Banyak siswa yang tergiur untuk menyontek meskipun hanya sekali. Beberapa anak
setelah menyontek sekali merasa bersalah dan tidak mengulanginya lagi,
sementara beberapa anak yang lain bisa ketagihan dan merasa hal ini sangat
berguna. Sayangnya, beberapa anak yang sudah mulai mencontek susah untuk
berhenti.
Berdasarkan beberapa penelitian, penulis mengakategorikan empat faktor yang
mempengaruhi perilaku menyontek, yaitu faktor situasional, faktor
disposisional, faktor personal, dan faktor eksternal.
1. Faktor
situasional
a.
Orientasi tujuan
Penelitian Newstead, dkk. menunjukkan bahwa mengejar nilai yang tinggi merupakan
faktor pendorong bagi pelajar untuk menyontek.[1] Para
pendidik sering terkadang menekankan pelajar untuk memperoleh nilai dan
peringkat akademis daripada pemahaman materi pelajaran, orang
tua yang ingin anaknya meraih prestasi tinggi, ada yang menyadari kemampuan
anaknya tidak terlalu baik sehingga tidak terlalu menuntut nilai tinggi, tetapi
tetapmemberikan motivasi untuk berprestasi lebih baik, ada juga orang tua yang
memahami kemampuan anaknya pas-pasan tetap menuntut prestasi tinggi demi gengsi
dan kebanggaan, sehingga anak diamarahi jika mendapat nilai jelek. Keller melaporkan bahwa 69% siswa menyebutkan
tekanan pada nilai tinggi merupakan alasan kuat menyontek.
b.
Kontrol atau pengawasan selama ujian
Jika suasana pengawasan ketat, maka kecenderungan
menyontek kecil, sebaliknya jika suasana pengawasan longgar, maka kecenderungan
menyontek menjadi lebih besar. Para pelajar berfikir bahwa pengawasan yang
longgar dan kemungkinan kecil akan diketahui oleh pengawas berpengaruh besar
terhadap keputusan untuk menyontek. Menurut Carolli bahwa siswa menyontek
karena merasa perbutannya tidak akan diketahui oleh pengawas.
c.
Banyaknya jumlah siswa dalam kelas
Padatnya populasi dalam satu kelas akan memudahkan
pelajar menyontek. Jika kelas yang seperti ini menggunakan soal pilihan ganda
akan memberikan peluang terjadinya menyontek. Pengaturan
tempat duduk juga akan sangat mempengaruhi kemungkinan terjadinya menyontek.
Menyontek dipandang sebagai suatu bentuk strategi dalam menghadapi tuntutan
kurikulum sekolah. Ketika pelajar mengalami
kesulitan dalam memahami dan menyerap materi pelajaran dan beban materi
pelajaran yang harus dipelajari terlalu berat, maka beberapa pelajar pesimis
dan terpaksa mencari jalan keluar dengan cara menyontek.
e.
Pengaruh teman sebaya
Munculnya perilaku menyontek juga sangat ditentukan fatkor teman sebaya. Bila
dalam kelas terdapat beberapa anak yang menyontek akan mempengaruhi anak yang
lain untuk menyontek juga. Pada awalnya seseorang tidak bermaksud menyontek,
tetapi karena melihat temannya menyontek, maka merekapun ikut menyontek.
f.
Soal tes yang sulit
Praktek kecurangan atau menyontek terjadi karena terlalu
sulitnya tugas yang diberikan, sulitnya soal yang dihadapi membuat pelajar
merasa bahwa kemungkinan gagal akan sangat besar, untuk menghindarihal tersebut
mereka rela melakukan tindakan menyontek.
g.
Ketidaksiapan mengikuti ujian
Salah
satu alasan yang membeut siswa tidak siap menhadapi ujian adalah kemalasan
untuk belajar secara teratur dan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Selain
itu, kebiasaan belajar hanya ketika mau ujian. Akibat sistem belajar
yang seperti itu maka siswa tidak mampu menguasai seluruh materi yang akan
diujikan secara optimal, sehingga lebih mengandalkan menyontek.
2. Faktor
disposisional
a.
Iklim akademis sekolah
Pada umumnya peneliti meyakini bahwa iklim di sekolah ataupun Perguruan Tinggi
telah mengikis pernyataan 'siapa yang menyontek akan mendapat hukuman'.
Kurangnya perhatian dari sekolah dan Perguruan Tinggi terhadap menyontek
mengakibatkan pelajar menyimpulkan bahwa kalau tidak menyontek berarti mereka
terlalu bodoh karena tidak memanfaatkan kesempatan.
b.
Intelegensi
Penelitian Eisenberger dan Shank menunjukkan bahwa siswa yang berintelegensi
lebih rendah lebih sering menyontek dari pada yang berintelegensi tinggi.
Selain itu, siswa yang beretika kerja personal tinggi lebih cenderung mampu
menahan diri untuk tidak menyontek daripada mereka dengan etika kerja personal
rendah.
3. Faktor
personal
a.
Kurang percaya diri
Siswa
atau mahasiswa yang menyontek memiliki kepercayaan diri yang minimal terhadap
kemampuan diri sendiri. Oleh karena itu, mereka akan berusaha mencari penguat
dari pihak lain seperti teman-temannya dengan cara bertanya, atau bisa juga
dari buku-buku catatan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
b.
Self-esteem dan need for approval
Menurut
Lobel dan Levanon, kecil kemungkinannya untuk menyontek bagi siswa
dengan self-esteem tinggi dan need for approval yang
rendah. Akan tetapi, bagi siswa yang memiliki self-esteem dan need
for approval yang sama-sama tinggi kemungkinan akan menyontek seperti
halnya siswa yang memiliki self-esteem yang rendah.
c.
Katakutan terhadap kegagalan
Sumber
utam ketakutan terhadap kegagalan adalah ketidaksiapan menghadapi ujian tetapi
yang bersangkutan tidak mau menundanya dan juga tidak mau gagal. Selain itu diperkuat pengalaman kegagalan pada
tes-tes sebelumnya. Menurut Vitro dan Schoer kegagalan dalam suatu tes lebih
sering diikuti oleh tindakan menyontek pada tes berikutnya bila dibandingkan
dengan keberhasilan.
d.
Kompetisi dalam memperoleh nilai dan peringkat akademis
Hasil
penelitian Burns dkk. menunjukkan bahwa persaingan dalam memperolah nilai yang
tinggi dan peringkat yang tinggi memicu terjadinya menyontek. Nilai
yang tinggi akan berpengaruh pada peringkat akademis di kelas dan pering kat
akademis di kelas dapat meningkatkan citra diri siswa. Oleh karena itu, mereka
berusaha mencari jalankeluar dengan cara menyontek agar dapat mempertahankan
citra diri yang positif.
4. Faktor
eksternal
a.
Jenis kelamin
Beberapa
hasil penelitian tentang hubungan gender dengan menyontek cenderung tidak
konsisten. Perempuan cenderung lebih sedikit menyontek dibandingkan dengan
laki-laki. Akan tetapi, beberapa penelitian menemukan korelasi yang sangat
lemah diantranya. Hasil penelitian yang dilakukan Davis dkk. menunjukkan bahwa
laki-laki lebih banyak menyontek dari pada perempuan. Pada umumnya perempuan
merasakan belajar senagai hal yang menyenangkan dan memberi kepuasan sehingga
tidak suka menyontek.
b.
Usia
Faktor
usia sebenarnya tidak terlalu berperan dalam kemungkinan seseorang menyontek. Tetapi menurut Newstead dkk. bahwa mahasiswa
dengan usia yang lebih muda lebih sering menyontek dari pada siswa dengan usia
yang lebih tua.
c.
Peringkat atau nilai
Perilaku
menyontek seringkali dikaitkan dengan nilai atau peringkat. Menurut Witley
siswa dengan nilai lebih rendah kemungkinan lebih besar menyontek daripada
siswa yang memiliki nilai tinggi. Meski
demikian beberapa penelitian lain diketahui bahwa nilai atau peringkat sering
berkorelasi negative dengan perilaku menyontek.
d.
Moralitas
Penilain
moral dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk menilai suatu tindakan dari
sudut pandang kebaikan, keburukan, kebenaran, dan kesalahan serta memutuskan
apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan penilaian yang telah dilakukan.
Permasalahannya bahwa keputusan yang telah dibuat tidak selalu diikuti oleh
tindakan yang sesuai dengan keputusan tersebut.
Dampak - dampak Menyontek
Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan
Noviani, 2004), fungsi psikologis merupakan hubungan timbal balik yang
interdependen dan berlangsung terus menerus antara faktor individu, tingkah
laku, dan lingkungan. Dalam hal ini, faktor penentu tingkah laku internal (
keyakinan dan harapan), serta faktor penentu eksternal ( "hadiah" dan
"hukuman") merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling
berinteraksi. Proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat
proses, yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi.
Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), Pada
saat dorongan tingkah laku menyontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu
muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang
akan dicapai jika ia menyontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang
memberikan atensi terhadap stimulus perilaku menyontek itu menjadi sebuah
informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun
pengalaman mengenai perilaku menyontek, baik secara maya (imaginary) maupun
nyata (visual).
Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik,
yaitu memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku menyontek
untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan
tingkah laku menyontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan
konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam
proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan
dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya
bila ia menyontek.
Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui
bahwa cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi
underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih
besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin
tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka
semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal
seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang
saja, seperti kita dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal
bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan
adalah nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan
berdosa, kepuasan diri terhadap "prestasi" akademik yang dimilikinya,
dan juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk menyontek.
Masalah kepuasan "prestasi" akademik juga akan menjadi sebuah
konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk menyontek.
Bila ia menyontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya.
Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan,
sebenarnya nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari
pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah proses
manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar mengungkapkan,
bahwa menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya
sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan
pendidikan Indonesia. Ibarat jarum kecil di bagian karburator motor. Sekali
saja jarum itu rusak, mesin motor pun mati.
Dampak yang timbul dari praktek menyontek yang
secara terus menerus dilakukan akan mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak,
niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat
tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor.
(Poedjinoegroho, 2006)
Pengajaran yang orientasinya siswa mampu
menjawab soal dan bukan pada pengertian serta pengembangan inovasi dan
kreatifitas siswa akan menumbuhkan kebosanan, kejenuhan, suasana monoton yang
dapat berakibat stress. Sudah waktunya sistem pendidikan kita bersifat two way
communication antara guru dan siswa. Kelompok kerja makalah, presentasi,
pembuatan alat peraga, studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orang tua
siswa) kiranya lebih digiatkan daripada menimbuni siswa dengan soal-soal yang
banyak tapi dikerjakan dengan menyontek. (Widiawan,1995).
Jika masalah menyontek ini masih saja dianggap
sepele oleh semua orang, tidak akan respon dan tanggapan dari guru, kepala
sekolah, pengawas, dinas pendidkan para pakar pendidikan dan pengambil
kebijakan dalam bidang pendidikan, penulis pesimis dunia pendidikan akan maju,
kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh mungkin orang-orang yang tidak jujur
yang bekerja disemua sektor kehidupan.
Beralih kembali ke permasalahan kebiasaan
menyontek dalam konteks masyarakat ialah tidak adanya penerapan budaya malu
dalam menyontek. Pendidik atau guru pada saat terjebak dengan pandangan
penerapan budaya malu dengan penerapan mempermalukan. Hal ini terlihat dengan
adanya konsekuensi yang biasa diberikan kepada pelaku dengan mempermalukan di
depan teman-temannya yang lain atau lingkungan lain atas tindakan menyontek.
Penerapan budaya malu lebih kepada upaya brain washing untuk mendoktrin setiap
orang bahwa menyontek adalah upaya yang sangat memalukan dan tidak memerlukan
sebuah hukuman langsung terhadap pelaku. Setiap orang yang ingin menyontek akan
merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan
menghakiminya ketika dia menyontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam
masyarakat kita yang dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah,
bermoral dll.
Pandangan di atas menghilangkan faktor individu
sebagai sebuah permasalahan seperti pandangan bahwa seseorang menyontek karena
ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, adanya sifat pemalas pada individu maupun
pandangan-pandangan lain yang lebih mengarah pada penghakiman terhadap
individu. Hal ini dikarenakan penulis menyepakati sebuah anggapan bahwa
bagaimanapun sebuah sistem jauh lebih penting dari pada pelaku sistem itu
sendiri, pertama karena pelaku sistem adalah bagian dari sistem itu sendiri dan
kedua adalah sebaik-baiknya pelaku sistem pasti akan menyesuaikan diri dengan
sistem itu sendiri.
Lewis R. Aiken dalam Admin (2004) melaporkan
bahwa kecenderungan melakukan ”menyontek” di Amerika Serikat meningkat sehingga
tidak saja memprihatinkan dunia pendidikan tetapi juga telah menjadi bagian
keprihatinan kalangan politisi. Dikatakan bahwa kasus ”menyontek” tidak hanya
melibatkan siswa sebagai individu pelaku tetapi ”menyontek” disinyalir telah
dilakukan oleh institusi pendidikan dengan melibatkan pejabat-pejabat
pendidikan seperti guru, superintendant, school districtst dll. Pada penelitian
Aiken yang ditujukan kepada kasus CAP dan CTBS (California Achievement Program
dan California Test for Basic Skills), suatu ujian yang diselenggarakan oleh
lembaga independen ditemukan bahwa alasan siswa melakukan ”menyontek” karena
adanya tekanan yang dirasakan oleh siswa dari orang tuanya, kelompoknya, guru,
dan diri mereka sendiri untuk mendapatkan nilai tinggi. Selanjutnya, alasan
bagi pejabat pendidikan untuk membantu siswa dalam mengerjakan tes atau
mengubah jawaban yang salah dengan jawaban yang benar sebelum lembaran jawaban
diserahkan kepada lembaga penyelenggara, adalah karena hal itu menyangkut
reputasi sekolah, menyangkut anggaran pendidikan yang akan dibayar oleh
masyarakat. Hal itu terjadi karena hasil tes tidak saja mengevaluasi kemampuan
individual siswa tetapi juga mengevaluasi reputasi dan kompetensi guru, kepala
sekolah, dan pejabat pendidikan lainnya yang memiliki akuntabilitas langsung
kepada masyarakat, politisi, dan kalangan bisnis.
Terlepas dari semua itu, banyak siswa yang
mengakui bahwa mereka menyontek pasda saat tidak tahu jawaban dari soal-soal
yang diberikan oleh guru dan termasuk saat ulangan berlangsung. Pada dasarnya
koesioner tidak menyadari bahwa ketidakmapuan mereka menjawab soal ujian
merupakan salah satu faktor penyebab mereka menyontek.
Pengaruh Menyontek bagi Prestasi Siswa
Dalam hubungannya dengan prestasi belajar,
prestasi yang diperoleh dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari
hasil menyontek dan menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk
berprestasi yang terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan
kerajinan berusaha.
Fenomena menyontek sering terjadi dalam kegiatan
belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah
menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau
paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri.
Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar
siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian,
lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang
membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan
praktek menyontek.
Dalam hubungannya dengan prestasi belajar,
prestasi yang diperoleh dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari
hasil menyontek dan menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk
berprestasi yang terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan
kerajinan berusaha.
Meskipun tenaga pengajar
harus mengambil tindakan untuk mempertahankan dan mengembangkan pola perilaku
dipihak siswa yang mendukung belajar disekolah, namun ia akan tetap dihadapkan
pada perilaku yang menghambat dan di fromokasikan dengan siswa yang menganggu
dan mengancam.
Pada saat ini, tidak dapat disangkal bahwa guru dikelas
kerap ditantang untuk mengatasi tingkah laku sejumlah siswa yang deskruftif,
lebih-lebih dikota besar. Gejala umum ini bersumber pada berbagai faktor
penyebab, yaitu runtuhnya disiplin hidup bersama dalam masyarakat, menipisnya
kesadaran dan tanggung jawab sosial banyak kalangan, suasana sekolah yang
kurang memberikan kepuasan pada siswa, rasa ketertiban sebagai tenaga
kependidikan dipihak sejulah guru yang mengendor. Guru sebagai orang terdekat
dalam pembelajaran disekolah, memiliki tanggung jawab membimbing siswa.
Tindakan guru pada umumnya dalam pelaksanaan ujian dan ulangan dengan
memberikan penguatan dan peneguhan terhadap sikap dan perilaku mereka yang
positif, dimana mereka
berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan
baik dan tertib.
Namun bila tidak ada perilaku positif yang dapat
diberikan penguatan dan peneguhan maka dibutuhakan pendekatan lain yaitu:
a. Cuing Promping, yaitu siasat memberikan
tanda, guru menyajikan suatu perangsang yang berfungsi sebagai pemberitahuan
bahwa siswa diharapkan berbuat sesuatu yang sebenarnya dapat mereka lakukan,
tetapi belum dilakukan.
b. Model, yaitu guru memberikan model yang
ditiru oleh siswanya.
c. Shaping, yaitu membuat tingkah laku secara
berlahan-lahan, yaitu setiap tingkah laku siswa, seperti mengatur buku, menyapa
guru atau teman, cara ini memerlukan kesabaran yang sangat dari guru.
Adapun tindakan kuratif guru, berlaku bagi siswa
yang sudah terbiasa dengan contek-menyontek, dengan memberikan peringatan .
bentuk kongkrit dari peringatan dapat bermacam- macam, yaitu :
a. Teguran Verbal, yaitu mendekati siswa
tertentu dengan berbicara suara kecil sehingga tidak terdengar oleh teman
sekelas.
b. Mengambil suatu hal yang digemari atau
disukai siswa, seperti mengikuti kegiatan tertentu atau menyerahkan benda yang
dipegangnya.
c. Mengisolasi siswa dari teman – temannya untuk
waktu tidak terlalu lama, seperti memindahkannya diruang kosong atau tempat
yang jarang dilalui orang.
d. Memberikan sanksi yang berat kepada para
pelajar pencontek dan kepada semua pihak yang berperan di dalamnya.
e. Memberikan pelajaran akhlak kepada para
pelajar, sekaligus menyadarkaan bahwa Allah selalu mengawasinya, sekaligus
menyadarkan akan pentingnya amanah, kejujuran, serta menjelaskan hramnya
perbuatan khianat, bohong, serta menipu.
f. Menumbuhkan pada diri pelajar rasa percaya
diri pada diri sendiri, karena merupakan pangkal keberhasilan dan prestasi.
Guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran.
Jadi dari bentuk tindakan guru yang telah
dipaparkan, guru dapat membantu siswanya untuk meninggalkan kebiasaan menyontek
dalam ujian atau ulangan dengan berusaha.
a. Membentuk hubungan saling menghargai antara
guru –siswa, serta menolong murid bertindak jujur dan tanggung jawab.
b. Membuat dan mendukung peraturan sehubungan
dengan menyontek, karena siswa memahami peraturan dari tindakan guru.
c. Mengembangkan kebiasaan dan keterampilan
belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan, melaksanakan cara belajar
siswa.
d. Tidak membiarkan siswa menyontek jika hal
tersebut terjadi dalam kelas dengan teguran atau cara lain yang pantas dengan
perbuatannya, sebagai penerapan disiplin.
e. Menekankan “ Belajar” lebih sekedar mendapat
nilai, yaitu membantu siswa memahami arti belajar sebagai suatu tujuan mereka
sekolah, dan nilai akan berarti bila murni dengan kemampuan siswa sendiri.
f. Bertanggung jawab merefleksikan “kebenaran
dan kejujuran”, yaitu guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam
menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran.
g. Menggunakan test subjektif sebagai dasar
proses ulangan dan ujian.
Dari uraian di atas dapat diidentifikasi bahwa
ada empat faktor yang menjadi penyebab menyontek yaitu:
Faktor individual atau pribadi dari penyontek.
Factor lingkungan atau pengaruh kelompok.
Factor system evaluasi.
Factor guru atau penilai.
Berkenaan dengan asas moral di atas, dapat ditegaskan bahwa yang terpenting
dalam pendidikan moral adalah bagaimana menciptakan faktor kondisional yang
dapat mengundang dan memfasilitasi seseorang untuk selalu berbuat secara moral
dalam ujian (tidak “menyontek”) maka caranya adalah mengkondisikan keempat
faktor di atas ke arah yang mendukung, yaitu sebagai berikut:
Faktor pribadi dari penyontek
a. Bangkitkan rasa percaya diri.
b. Arahkan self consept mereka kea rah
yang lebih proporsional
c. Biasakan mereka berpikir lebih
realistis dan tidak ambisius
Faktor Lingkungan dan Kelompok
Ciptakan
kesadaran disiplin dank ode etik kelompok yang sarat dengan pertimbangan moral.
Faktor Sistem Evaluasi
a. Buat instrument evaluasi yang valid
dan reliable (yang tepat dan tetap).
b. Terapkan cara pemberian skor yang
benar – benar objektif.
c. Lakukan pengawasan yang ketat.
d. Bentuk soal disesuaikan dengan perkembangan
kematangan peserta didik dan dengan mempertimbangkan prinsip paedagogy serta
prinsip andragogy.
Faktor Guru
a. Berlaku objektif dan terbuka dalam
pemberian nilai.
b. Bersikap rasional dan tidak
“menyontek” dalam memberikan tugas ujian / tes.
c. Tunjukkan keteladanan dalam perilaku
moral.
d. Berikan umpan balik atas setiap
penugasan.
Menyikapi fenomena contek-menyontek dikalangan
para siswa sebenarnya kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan imej
dari remaja tersebut bahwa kita bisa solider dalam banyak hal, tetapi tidak
dalam hal ujian. Dengan sikap seperti itu maka diharapkan akan meminimalisasi
contek menyontek di kalangan remaja. Tumbuhkan rasa percaya diri dengan merasa
puas akan hasil kerja sendiri. Mengubah kebiasaan. Mungkin pada awalnya memang
bukan hal gampang, tapi kalau kita memang meniatkan dalam hati, yakinlah bahwa
tak ada satu hal pun yang tidak mungkin.
Menyontek adalah salah satu wujud perilaku dan ekspresi
mental seseorang. Ia bukan merupakan sifat bawaan individu, tetapi sesuatu yang
lebih merupakan hasil belajar/pengaruh yang didapatkan seseorang dari hasil
interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, menyontek lebih sarat dengan
muatan aspek moral daripada muatan aspek psikologis.
Dalam batas-batas tertentu menyontek dapat dipahami sebagai
sesuatu fenomena yang manusiawi, artinya perbuatan menyontek bisa terjadi pada
setiap orang sehingga asumsi di depan yang menyatakan bahwa ada korelasi antara
perilaku menyontek di sekolah dengan perilaku kejahatan seperti korupsi di
masyarakat adalah terlalu spekulatif dan sulit dibuktikan secara nalar ilmiah.
Meskipun demikian tak dapat disangkal bahwa menyontek bisa membawa dampak
negatif baik kepada individu, maupun bagi masyarakat. Dampak negatif bagi
individu akan terjadi apabila praktek menyontek dilakukan secara kontinyu
sehingga menjurus menjadi bagian kepribadian seseorang.
Selanjutnya, dampak negatif bagi masyarakat akan terjadi
apabila masyarakat telah menjadi terlalu permisif terhadap praktek menyontek
sehingga akan menjadi bagian dari kebudayaan, dimana nilai-nilai moral akan
terkaburkan dalam setiap aspek kehidupan dan pranata sosial.
Sebagai bagian dari aspek moral, maka terjadinya
menyontek sangat ditentukan oleh faktor kondisional yaitu suatu situasi yang
membuka peluang, mengundang, bahkan memfasilitasi perilaku menyontek. Seseorang
yang memiliki nalar moral, yang tahu bahwa menyontek adalah perbuatan tercela,
sangat mungkin akan melakukannya apabila ia dihadapkan kepada kondisi yang
memaksa.
Mencegah menyontek tidaklah cukup dengan sekedar
mengintervensi aspek kognitif seseorang, akan tetapi yang paling penting adalah
penciptaan kondisi positif pada setiap faktor yang menjadi sumber terjadinya
menyontek, yaitu pada faktor siswa, pada lingkungan, pada sistem evaluasi dan
pada diri guru.
Oleh karena setiap orang berpotensi untuk melakukan menyontek
dan terdapatnya gejala kecenderungan semakin maraknya praktek menyontek di
dunia pendidikan, maka perlu segera dilakukan review atau reformulasi sistem
atau cara pengujian, penyelenggaraan tes yang berlangsung selama ini baik yang
diselenggarakan secara massal oleh suatu badan atau kepanitiaan maupun yang
diselenggarakan secara individual oleh setiap guru.
Burns, S.R., Davis, S.F,. Hoshino, J., Miller, R.L. 1988. "Academic
Dishonesty: A Delineation of Cross-cultural Patterns". College
Students Journal, 32 (4), 590-597.
Caroli, C.A. 2004. "Cheating is Pervasive Problem in Education,
Forum Participants say". Education Week, 23 (24), 10.
Davis, S.F.,Grover,C.A., Becker,.A.H. &McGregor,L.N. 1992.
"Academic dishonesty: Prevalence, Determinants, Techniques and
Punishmenta". Teaching of Psychology, 19 (1), 16-20.
Houston, J.P. 1987. ”Curve linear Relationship among Anticipated Success,
Cheating Behavior, Temptation to Cheat, and Perceived Instrumentality of
Cheating”. Journal of Educational Psychology,70,
(5), 758-762.
Klein,H.A., Levenburg, N.M., McKendall,M., & Mothersell,W..
2007. ”Cheating During the College Years: How do Business School Students
Compare?”. Journal of Business Ethics, 72 (10), 197-206.
Lim dan See. 2001. ”Attitude Toward, and Intentions to Report, Academic
Cheating among Students in Singapore”. Ethics and Behavior
Journal, 11 (3), 261-275.
Lobel dan Levanon. 1988. ”Self-esteem, Need for Approval and Cheating
Behavior in Children. Journal of Educational Psychology, 80 (1),
122-123.
Newstead, S.E., Stokes, A.F., & Armstead, P. 1996. ”Individual Difences
in Student cheating". Journal of Educational Psychology, 88,
(2), 229-241.
Santoso, T. 1991. Menyontek Bukan Seni. Dalam Kartini
Kartono (ed.). Bimbingan Bagi Anak Remaja yang Bermasalah. Jakarta:
Rajawali Press.
Sujana. 1994. ”Hubungan Antara Kecenderungan Pusat Kendali Internal dengan
Intensi Menyontek”. Jurnal Psikologi, Vol. 21. h. 18
Widiawan, Kiswanto. "Menyontek Jadi Budaya Baru" Pokok Pikiran 2
Karya Wiyata 72 Tahun XVIII September-Oktober 1995. Diambil darihttp://depdiknas.go.id/jurnal/38
Witley, B.E. 1998. ” Factors Associated With Cheating Among
college students: A review”. Research in Higher Education, 39, (3